Pengakuan Pelaku Tawuran Pelajar
- Feb 27, 2017
- Youthmanual
Di zaman yang semakin maju ini amat disayangkan kasus tawuran antarpelajar masih terus terjadi dan sangat memprihatinkan. Korban luka, bahkan nyawa, terus berjatuhan. Fenomena ini bikin banyak orang bertanya-tanya, kenapa sampai bisa terus terjadi perkelahian dan tawuran? Apa sih, yang mendorong mereka untuk ikutan? Apa yang terjadi ketika tawuran? Takutkah mereka? Atau merasa bersalah?
Sammy, yang pernah menjadi salah satu pelaku, menuliskan kisah dan pengalaman terlibat dalam tawuran pelajar.
***
Semua bermula di Jalan Bulungan Blok M. Saat itu hari senin, dan gue masih kelas 1 SMA.
Turun dari bus, gue dan seorang kawan bernama Panji, memilih jalan kaki.
Kami jalan melewati dua SMA papan atas di Jakarta. Melewati lokasi SMA pertama—yang katanya terkenal sebagai sekolahnya para artis—nggak ada hal berarti yang kami alami.
Gue dan Panji jalan terus menuju jalur Metro Mini tujuan Ciledug. Untuk menjangkau lampu merah itu, gue dan Panji mesti melewati lokasi SMA yang kedua.
SMA ini lebih terkenal sebagai sekolah anak-anak pintar.
Saat mau melintas, gue dan Panji sempat melihat dari kejauhan adanya gerombolan cowok berjumlah puluhan yang memakai jaket. Panji pun spontan berkata ke gue, "Nggak apa-apa nih, kita lewat depan situ?"
Muka Panji udah berubah pucat begitu melihat banyaknya anak yang nongkrong di depan SMA unggulan tersebut. Tapi, gue masih tenang. Sebab gue pikir mereka adalah anak pintar yang nggak doyan tawuran. "Enggak Ji. Ini sekolahan anak-anak pinter. Santai aja," jawab gue dengan pede.
Makin mendekati kerumuman anak tongkrongan situasi makin tak terkendali. Panji mulai panik. "Sam, mereka kayaknya mau ngejer kita," kata Panji ke gue.
"Tenang aja Ji, jangan takut. Nanti kita malah dikira anak SMA sebelah," balas gue. Kebetulan SMA yang pertama kami lewati terkenal sebagai musuh bebuyutan SMA ini.
Akhirnya, kita berdua melintas tepat di depan gerombolan anak SMA pintar itu. Begitu kita melintas, puluhan anak-anak yang memakai jaket angkatan ini mendadak memberi tepuk tangan ke arah gue dan Panji.
Beberapa pun sambil nyeletuk, "Wah, jagoan ini!"
Beberapa detik setelah momen tepuk tangan dan celetukan, gerombolan anak SMA itu langsung membuntuti gue dan Panji. Baju gue ditarik. Dan Panji tiba-tiba udah terjatuh sambil terdengar bunyi pukulan tongkat.
"Bak...buk... bak...buk!"
Pukulan, tendangan, tamparan bertubi-tubi diarahkan ke gue dan Panji. Kita berdua harus meladeni sekitar 30 sampai 40 siswa yang ternyata geng angkatan kelas tiga di SMA pintar itu.
Di tengah posisi gak berdaya, gue spontan nyeletuk. "Jangan keroyokan, dong. Kalau mau, satu lawan satu!" Teriak gue sambil nutupin muka yang nggak hentinya diberi pukulan.
Teriakan gue ternyata membuat mereka menghentikan aksi keroyokan. Akhirnya, gue pun digiring ke sebuah jalan yang berada tepat di seberang SMA itu. "Kalau mau duel, di sini tempatnya," kata salah satu anggota gerombolan.
Gambaran tawuran pelajar, masalah yang terus terjadi.
Ternyata gue dibawa menuju sebuah taman yang di sana lebih banyak jumlah anak tongkrongannya. Lagi-lagi gue pun dikeroyok. Setelah hitungan menit, salah satu dari mereka bertanya. "Lo lagi, cari mati lewat sini. Anak mana sih loe?"
Pertanyaan itu buat gue berpikir keras. Sebab SMA gue lokasinya gak terlalu jauh dari sekolah mereka. Ditambah lagi SMA gue juga dikenal juara dalam hal tawuran.
"Kalau jawab jujur dan ternyata sekolahan gue musuhan sama mereka, bisa tambah berabe , nih!" pikir gue dalam hati.
Akhirnya gue pilih mengarang asal SMA. "Saya anak pesantren, Bang!"
Jawaban yang totally aneh bin ajaib ini membuat gerombolan itu tertawa terbahak-bahak. "Mana ada anak pesantren pakai baju SMA (negeri)," ujar salah satu anggota gerombolan yang lain.
Akhirnya mereka pun menawarkan negosiasi. Mereka mau melepaskan gue, asalkan gue serahkan sejumlah uang. Akhirnya tawaran itu gue penuhin.
Selesai beri "upeti", gue pun dilepas untuk menuju ke arah lampu merah di ujung Jalan Bulungan. Tapi gue bertanya-tanya, kemana si Panji?
Ternyata, Panji masih tergeletak di lokasi pengeroyokan yang pertama. Kondisinya lebih parah dari gue. Soalnya, Panji dikeroyok dengan menggunakan alat tumpul.
Panji masih terduduk di trotoar dengan baju yang udah penuh darah akibat kepalanya bocor. "Ji lo nggak apa-apa?" tanya gue.
Dia pun menjawab, "Gue sih gak apa-apa. Gak seberapa sakit. Tapi gue dendam habis. Gue mau bales ini. Kita harus balik ke sekolah manggil anak-anak!" ucap Panji.
Ucapan Panji itu juga gue rasakan dalam hati. Sejak detik itu, masa SMA gue pun berubah 180 dejarat. Dari yang tadinya nggak terpikir namanya kelahi dengan SMA lain, menjadi mendeklarasikan diri untuk bikin pembalasan dengan anak SMA pintar itu.
Sehari setelah kejadian pengeroyokan, gue nggak lagi pulang sendiri atau berdua dengan Panji. Tapi pulang bersama 30 sampai 40 orang. Kita pun nggak pulang dengan tangan kosong. Tapi dengan tongkat, kopel, dan berbagai senjata tajam di dalam tas.
Setiap momen pulang sekolah jadi ajang mencari perkelahian. Kumpulan kami dikenal dengan sebutan "basis".
Basis di SMA gue terbagi atas beberapa kelompok, sesuai dengan arah rumah masing-masing. Ada basis Ciputat, basis Cinere, sampai basis jalan kaki untuk yang rumahnya deket sekolah.
Nah, tiap basis ini punya agenda sendiri-sendiri. Kalau basis Cinere biasanya menumpang bus 610. Di jalan, mereka biasanya cari musuh di sekitar kawasan Fatmawati hingga Blok M. Sementara basis Ciputat biasanya naik bus patas. Musuh yang dicari di seputaran Jalan Ciputat Raya.
Sedangkan basis jalan kaki biasanya menjaga daerah dekat sekolah dari ancaman serangan musuh. Nah, walau rumah gue di daerah Ciledug, tapi gue milih ikut basis Cinere. Sebab arena mereka juga menjangkau Jalan Bulungan yang berarti alamat gue untuk balas dendam.
Setelah sekian lama nunggu, saat balas dendam itu pun tiba. Kejadiannya justru gak disangka-sangka.
Saat itu, gue dan sekitar empat orang temen sedang nongkrong di jalanan depan sekolah kita. Tiba-tiba, ada sebuah bus lewat berpenumpang sekitar 10 anak SMA. Kesepuluh anak SMA ini meneriaki gue dan empat temen gue yang lagi nongkrong. Mereka teriak asal SMA mereka ke arah kita sambil ngacungin jari tengah. Mereka meneriakkan nama SMA pinter itu di hadapan gue!
Sial bagi mereka, ternyata kami nggak cuma berlima. Ada sekitar 50an temen gue lainnya yang lagi nongkrong di sebuah gang deket sekolah. Mendenger teriakan dari anak SMA pintar itu, bus mereka pun kami kejar. Begitu kami masuk dalam bus, muka anak-anak SMA pintar ini pucat pasi. Sadar kalah jumlah, mereka memohon ampun. "Ampun bang...ampun bang..."
Tapi kata ampun itu gak berarti. Kesepuluh anak itu habis dipukuli bertubi-tubi. Kaca-kaca bus pun sampai pecah.
Sang sopir bus kemudian diperintahkan untuk memacu busnya. Saat itu salah satu senior gue memberikan penawaran kepada kesepuluh anak SMA pinter itu. "Lo pilih, loncat dari bus ini atau kita habis gebukin?"
Akhirnya satu per satu anak SMA pinter itu pilih cara nekat dengan melompat bus yang sedang melaju. Melihat momen itu, rasa dendam kesumat gue sedikit berubah jadi iba.
Momen balas dendam itu akhirnya jadi yang pertama dan terakhir yang pernah gue lakukan. Setelah itu, gue masih beberapa kali ikut tawuran. Bukan karena emosi, tapi cuma ikut-ikutan saja.
Kalau pun ikut tawuran, gue milih di posisi paling belakang. Selain karena takut, gue nggak pengen ketangkap polisi dan masuk penjara.
Tapi sengumpet-ngumpetnya gue akhirnya ketahuan juga. Sebab saat sedang terlibat tawuran di daerah Fatmawati, muka gue yang posisinya ada di belakang justru dilihat guru yang kebetulan melintas.
Akibatnya, surat "cinta" dari sekolah pun gue terima. Kiamat kecil dalam kehidupan SMA gue, karena harus pindah sekolah di kelas dua.
Kira-kira, begitu lah garis besar cerita kelam gue di masa SMA. Beruntung, usai kejadian itu. fokus masa SMA gue bisa kembali tercurah di dalam kelas. Usaha gue meninggalkan arena tawuran akhirnya berbuah satu kursi di Universitas Indonesia.
Lucunya, saat kuliah gue bertemu dengan salah satu orang yang pernah memukuli gue di Jalan Bulungan itu. Di kampus, kita justru berteman baik.
Setelah lulus kuliah, gue yang kerja di dunia jurnalistik kembali ke bertemu dengan salah siswa asal SMA pintar itu. Kali ini yang saya temui adalah bocah yang saat itu duduk di kelas dua SMA.
Lokasi pertemuannya cukup nahas karena terjadi di Polda Metro Jaya. Gue yang saat itu sudah bekerja sebagai wartawan kriminal, bertemu bocah yang akrab disapa Doyok saat mau digiring masuk ke ruang pemeriksaan. Tangannya diborgol dan berbaju oranye bertuliskan "TAHANAN". Anak asal SMA pintar ini harus masuk penjara karena divonis bersalah membunuh siswa SMA lain.
Melihat Doyok dengan muka sangat belia, memori gue jadi kembali mengenang momen semasa SMA dulu. Gue pun langsung berpikir bahwa untung saja masa-masa saat ikut tawuran berakhir cepat. Untung gue diberi sanksi dan keluar dari sekolah. Karena kalau nggak, bisa jadi gue yang ada di posisi Doyok ini.
Tawuran = Ngerasa jagoan?
Doyok akhirnya harus divonis penjara tujuh tahun. Hal yang berarti membuat anak pintar ini harus melupakan mimpi jadi sarjana di Universitas ternama. Sebab jangankan jadi sarjana, Doyok malah harus melewatkan masa mudanya di penjara dengan status sebagai narapidana.
(sumber gambar: okezone.com, indeksberita.com, tempo.co, kompas.com)
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus