Sisi Minus dan Tantangan Bisnis Jastip
- Jan 14, 2020
- Fatimah Ibtisam
Bisnis jastip memang sangat menggiurkan. Sambil liburan, bisa meraup keuntungan yang sangat lumayan. Apalagi, sudah ada pembeli yang "menitip" barang tersebut. Sehingga risiko bisnis ini sangat kecil. Benarkah demikian? Di balik kesan mudah, santai, dan minim risiko, kamu perlu tahu sisi minus dan tantangan bisnis jastip, berikut ini.
1. Perlu waktu dan energi ekstra.
Biasanya, pebisnis jastip harus keliling toko untuk melihat (plus memotret dan mencatat harga beserta detail barang), menawarkan pada pembeli, kemudian kembali ke toko/mal/gerai tersebut untuk membeli pesanan. Belum lagi kalau pesanan mendadak habis. Kadang harus sampai 2-3 kali bolak-balik.
2. Liburan terancam bubar.
Nyambung dengan poin 1, seringkali pelaku jastip jadi nggak bisa menikmati/nggak sempat liburan. Atau setidaknya harus rela jatah liburan dan refreshing-nya berkurang.
3. Barang salah/rusak!
Harus sangat teliti, apalagi kalau yang pesan banyak. Karena ada kemungkinan:
* Pesanan tertukar
* Varian, ukuran, dan detail lain berbeda dengan yang dipesan.
* Barang ada cacat dan rusak. Sehingga kalau ada pesanan 20 barang yang sama, kamu perlu mengecek satu persatu. Iya, capek, iya.
4. So little time, too much to do.
Kamu harus mencatat, memotret, dan mempromosikan produk, mencari pesanan, kemudian memastikan dengan teliti ketepatan serta kualitas barang. Padahal, kamu nggak bisa berlama-lama di satu toko.
Trus, seringkali saat bazar/sale, kamu perlu memilih barang dengan cepat (biar nggak kehabisan). So, kamu mesti gercep dan memanfaatkan waktu dengan efisien.
5. Menghadapi ulah pembeli.
Pembeli/calon pembeli adalah raja. Sebagai penjual tentu nggak bisa baperan dengan pembeli. But, ugly truth, nggak jarang ada pembeli yang menguji kesabaran (dan kewarasan, heheheh), seperti:
a. Yang labil luar biasa. Pesan barang A yang sangat spesifik. Pas udah dicariin dengan susah payah, malah galau dan milih barang C, D, trus balik ke A dengan varian warna berbeda. Wadaww, bisa-bisa seharian cuma mengurusi satu orang.
b. Yang nggak jadi beli, ketika barangnya udah kita beli. WADIDAWWW! Makanya, sebaiknya minta calon pembeli transfer uang sebelum barang dibeli.
c. Yang bilang bahwa harga kamu kemahalan, dan harusnya nggak perlu ada “ongkos titip”. Yha, namanya aja JASTIP, mas-mbak!
d. Yang komplen, dan mengembalikan barang. Ini bisa dua kemungkinan sih. Pertama kesalahan pada penjual, misal barang rusak. Kedua, bisa juga karena pembeli yang mungkin kelewat perfeksionis (?), dan menganggap barang tersebut tidak sesuai standarnya. Alasan kedua sangat subjektif, dan merepotkan.
6. Risiko barang rusak saat dibawa.
Jadi, penyimpanan dan pengemasan barang kudu diperhatikan.
7. Challenging questions.
Pebisnis jastip terkadang harus berhadapan dengan berbagai pertanyaan menantang, seperti:
a. Penjelasan mengenai brand, produk, penggunaan produk, kelebihan produk dan lainnya. Makanya perlu riset dulu sebelum melakukan jastip.
b. Diminta membandingkan produk A dan produk B, C, Z…. Sementara produk lain tersebut nggak kita jastipin. Biasanya sih, modal googling dan baca review. Tapi ‘kan, susah juga kalau sedikit-sedikit mesti googling dan baca penjelasan panjang lebar. Ini jastip atau ngerjain skripsi, sih!
c. Diminta mencarikan produk dengan referensi tertentu (yang susah tentunya). “Pengen parfum yang wanginya nggak manis, tapi mirip kayak wangi sabun Jepang (gimana pula sabun Jepang ituuuu).” Yup, nggak semua pertanyaan bisa dijawab. Jawab aja sesuai keterangan pada produk atau rekomendasi penjual/pramuniaga.
8. Kucing-kucingan sama aturan
Ini terutama yang jastip ke luar negeri, ya. Ada semacam ketentuan mengenai pajak barang jastip. Aturan detailnya masih belum familiar. Cuma katanya, pembelanjaan di atas USD 500 bakalan kena pajak. Padahal, pebisnis jastip berbeda dengan importir. Selain skala yang lebih kecil, mereka juga nggak bisa mematok harga terlalu tinggi. Kalau kena pajak, tentu harga harus dinaikkan, dan belum tentu pembelinya mau. Alhasil, sejauh ini masih banyak pebisnis jastip yang kucing-kucingan dengan aturan tersebut.
9. Mau untung malah buntung!
Kadang, keuntungan belum bisa menutupi biaya keseluruhan. Terutama untuk pemula yang jumlah pesanannya belum seberapa.
Setelah diperhitungkan ongkos taksi, MRT, kendaraan umum, transportasi online, uang makan, bagasi, dan pengemasan, hasilnya ternyata defisit. Hiks! Makanya, dalam mematok harga, jangan hanya melihat nilai barang, tetapi juga biaya yang mesti dikeluarkan dalam proses jastip tersebut.
10. Hape dan internet mesti ON.
Terutama ketika berbelanja. Kalau tidak, sangat mungkin terjadi miskomunikasi dengan pembeli. Simpel tapi penting.
***
Tulisan ini sama sekali bukan untuk demotivasi kamu yang pengen berbisnis jastip. Tujuannya adalah agar kamu bisa melihat gambaran keseluruhan, sehingga nggak terjebak anggapan bahwa jastip itu pekerjaan gampang dilakukan. 10 hal di atas mesti kamu antisipasi dalam ber-jastip.
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus