Saya sangat tidak setuju dengan tulisan ini. Menurut saya ini sangat subjektif dan cenderung provokatif karena tidak semua anak berkeinginan masuk IPA dan memiliki minat tinggi dalam bidang tersebut, kemampuan setiap orangpun juga berbeda-beda. Setiap orang memiliki preferensi masing-masing, untuk seluruh pembaca yang akan masuk SMA saya berharap memikirkannya masak-masak peminatan yang hendak dipilih, tidak terpengaruh oleh tulisan tersebut. Okelah, katakanlah prodi IPA memiliki ragam pilihan diperguruna tinggi lebih banyak memang hal ini tidak dapat dielak, tetapi juga bukan berarti siswa dari peminatan IPS dan Bahasa tidak bisa bersaing dalam ranah mereka. kemudian, yang lucu adalah dalam dunia perkuliahan semua orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda tidak ada cerita bahwa anak IPA yang memiliki prodi IPS akan survive ini sesat pikir menurut saya, ini merupakan distorsi pada fakta yang ada dilapangan. Hal tersebut tidaklah benar. Kenyataanya banyak diluar sana mahasiswa dari jurusan IPS dan Bahasa yang berprestasi cemerlang, tak sedikit juga mahasiswa dari jurusan IPA biasa saja. Hal ini perlu diluruskan karena stigma yang terjadi dimasyarakat terus berkembang dari dulu hingga kini adalah bahwa jurusan IPA bermasa depan cerah itu sangat tidak masuk akal, seolah jurusan selain IPA tidak memiliki masa depan, ini akan berimplikasi pada pemaksaan anak-anak untuk mengambil jurusan IPA padahal mereka sama sekali tidak berminat, berimplikasi pada orang tua, guru, bahkan dari si anak sendiri yang semuanya tertanam MITOS bahwa jurusan IPA adalah segalanya. Masalah STEM bukan soal menurut saya meskipun ini cenderung kepada jurusan IPA, era modern dengan segala kecangihan tidak ada ekslusiviitas terhadap STEAM anak-anak dari jurusan Bahasa, IPA dan IPS tetap bisa mempelajari hal ini diluar sebatas pelajaran di dalam kelas. Sempit sekali jika dikatakan STEAM memiliki prospek cerah dan lebih dekat dengan anak jurusan IPA serta alasan pekerjaan karena saat ini faktanya, semua orang bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan bahkan pekerjaan tidak sejalan dengan jurusan yang mereka ambil baik di SMA, maupun bangku kuliah. Soal gaji atau uang tidak ada batasan, siapapun bisa mendapat gaji besar. Anak jurusan IPS dan Bahasa masih bisa mempelajari STEAM secara mandiri atau otodidak dan STEAM sendiri itu luas tidak hanya mencangkup hal-hal yang disebut diatas. Cara pandang-cara pandang semacam ini perlu diliuruskan.
Untuk sekolah yang melakukan serangkaian tes untuk menentukan minat siswanya menurut saya hal ini bisa saja membantu. Hal yang paling penting adalah sistem pendidikan Indonesia harus dibenahi, kurikulum sekolah Indonesia masih buruk. Tentunya pembenahan ini memang menjadi tanggung jawab pemerintah dan setidaknya pemerintah bisa belajar dari negara yang memang memiliki sistem pendidikan yang bagus. penentu kebijakan publik tentunya haruslah yang mengerti betul problematika pendidikan di Indonesia serta terbebas dari kepentingan pribadi (mengabdi pada bangsa). Hal ini saya rasa semua orang akan sepakat bahwa bagaimana pemerintahan kita menangani sistem pendidikan kita, mungkin untuk sekarang agak sedikit serius dibanding sebelumnya. Ditambah cara pandang yang sama buruknya dengan wajah pendidikan Indonesia tentang jurusan yang sepertinya sudah sejak zaman dahulu kala menjadi tradisi, jurusan IPA adalah segalanya harus dihilangkan, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa jurusan apapun yang menjadi penetu keberhasilan adalah kembali kepada diri masing-masing setiap orang yang menjalani. Semua butuh usaha, kerja keras, ketekunan, keuletan untuk menjadi sukses. tidak serta merta masuk IPA pasti hidup sejahtera. Semoga juga yang membaca artikel ini baik siapapun itu guru, orang tua, dan siswa merenungkan dan merefleksikannya bukan menelan mentah-mentah sampai membenarkan isi artikel ini. Seseorang dari jurusan apapun bisa berhasil, keberhasilan bukan eksklusivitas milik orang-orang tertentu. Sangat mengecewakan artikel ini, secara tidak langsung mengafirmasi bahwa jurusan IPS dan Bahasa tidaklah baik untuk masa depan, padahal yang menajalani nantinya juga masing-masing individu, bukan penulis artikel tersbut. Semoga artikel tersebut dicerna baik-baik.